Rabu, 04 Maret 2009
Wajah Suram Pluralisme
By; Zuhairi Misrawi
Sejak Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pengharaman pluralisme, relasi antar kelompok, khususnya antara kalangan mayoritas dan minoritas, baik dalam intra-agama maupun antar-agama mengalami keretakan dan goncangan yang cukup serius.
Puncaknya adalah tragedi Monas, yang menyebabkan puluhan aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyaninan (AKBB) terluka, dan beberapa orang diantaranya harus dioperasi secara intensif. Secara sepintas, tragedi tersebut dapat dipahami sebagai eskalasi “diskursus bernuansa kekerasan” menuju “tindakan kekerasan”. Perayaan sejumlah anak bangsa atas hari kelahiran Pancasila, yang mengamanatkan kebhinekaan berubah menjadi lautan kekerasan yang tak terbayarkan.
Pada hakikatnya diskursus tentang kekerasan merupakan sesuatu yang termaafkan, dan tidak bisa dihindari. Apalagi di zaman yang mana transformasi pemikiran menjadi sesuatu yang niscaya. Di belahan dunia manapun, pemikiran tentang radikalisme dan anarkisme berkembang, baik yang berlatarbelakang agama maupun politik. Tetapi, demokrasi mampu memastikan, bahwa diskursus bernuansa kekerasan tidak diperkenankan sama sekali untuk menjadi sebuah fakta kekerasan yang menyebabkan jatuhnya korban.
Di Singapura, mereka yang mempunyai pandangan keagamaan yang intoleran dapat dikatakan merupakan sebuah pandangan mayoritas. Mereka mempunyai pandangan yang menjurus pada klaim kebenaran. Tetapi, negara yang merupakan bagian terpenting dalam implementasi demokrasi telah mampu mengerem berbagai aksi kekerasan, karena kekerasan merupakan barang haram dalam ranah demokrasi. Mendiang Benazir Bhuto (2008) dalam Reconciliation: Islam, Democracy and the West, menyatakan bahwa tidak mungkin demokrasi dan kekerasan disandingkan dalam satu pelaminan negara.
Maka dari itu, hampir dapat dipastikan bahwa kekerasan merupakan musuh utama demokrasi. Kekerasan akan membuat demokrasi terseok-seok dan berada dalam ancaman terus-menerus. Lihat, misalnya, jika kelompok-kelompok yang mengusung ide dan tindakan kekerasan itu menguasi ruang publik, maka hampir bisa dipastikan tidak akan ada kemufakatan yang dapat diambil. Ia akan menjadi sebuah bentuk baru kediktatoran yang mengatasnamakan agama.
Tantangan Pluralisme
Politisasi kekerasan dapat dilihat dalam berbagai bentuknya. The Wahid Institute (2008) dalam laporan akhir tahunnya, melakukan pemetaaan terhadap tantangan pluralisme, terutama fakta kekerasan terhadap kelompok minoritas dalam delapan bentuk: Pertama, penyesatan terhadap kelompok/individu. Setidaknya dari Januari-Nopember 2008, telah terjadi 50 kasus penyesatan terhadap kelompok yang dianggap berbeda atau tidak sepaham. Adapun kelompok yang paling banyak menjadi korban dari penyesatan tersebut, yaitu Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Kedua, kekerasan bernuansa agama. Sepanjang tahun 2008, tercatat ada 55 kasus yang menyebabkan kelompok minoritas menjadi korban aksi kekerasan sebuah kelompok yang kerapkali menganggap sebagai “penjaga akidah” dan representasi kalangan mayoritas. Uniknya, meskipun kelompok ini sudah terbukti melaksanakan aksi penyerangan terhadap berbagai kelompok yang dianggapnya “sesat” dan “menyimpang”, tetapi pemerintah tidak mengambil tindakan yang semestinya. Bahkan, tatkala sejumlah elemen kelompok masyarakat meminta pembubaran atas kelompok tersebut, tetapi pemerintah sepertinya tidak mempunyai keberanian untuk mengambil tindakan.
Ketiga, regulasi bernuansa agama. Sepanjang tahun 2008, ada 28 masalah yang merupakan bentuk regulasi bernuansa agama. Seiring dengan desentralisasi politik, maka daerah mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah. Tapi, kenyataannya masih muncul regulasi bernuansa agama yang kerapkali bukanlah mandat pemerintah daerah. Uniknya, semangat kebangsaan dan kebhinekaan tidak menjadi pertimbangan utama dalam penerbitan regulasi tersebut.
Keempat, konflik tempat ibadah. Setidaknya tercatat ada 21 kasus yang berkaitan dengan konflik tempat ibadah. Pada umumnya yang menjadi korban dari pendirian tempat ibadah adalah kelompok ibadah, utamanya kalangan Kristiani dan sebagian umat Hindu dan Budha. Pemerinta sebenarnya sudah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, tahun 2006 perihal pedoman kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat. Tetapi, faktanya di lapangan konflik pendirian tempat ibadah masih menjadi masalah serius, karena adanya pemahaman “sesat” terhadap kelompok lain dan ketakutan terhadap perbedaan dan keragaman keyakinan umat.
Kelima, kebebasan berpikir dan berekspresi. Ada 20 kasus yang dapat memberangus kebebasan berpendapat. Yang paling mutakhir adalah pencekalan atas syuting film Lastri. Masyarakat diindikasikan mempunyai sensitvitas yang tinggi terhadap masalah yang berkaitan dengan keyakinan dan ideologi tertentu.
Keenam, hubungan antar-agama. Sepanjang tahun 2008, ada sekitar 7 kasus yang dapat dipahami sebagai bentuk retaknya hubungan antar-agama. Fakta di lapangan, kebencian terhadap agama lain masih menjadi keyakinan sebagian umat. Hidup berdampingan secara rukun dan damai dipahami sebagai barang mahal.
Ketujuh, fatwa-fatwa keagamaan. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa fatwa keagamaan dimotori oleh MUI. Lembaga yang sejatinya hanya mengurusi internal umat Islam, tetapi dalam prakteknya mereka juga melakukan advokasi ruang publik, bahkan pandangannya kerapkali dijadikan sebagai justifikasi oleh negara, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat lokal. Tentu saja, tatkala fatwa tersebut memasuki ranah publik, utamanya dalam bentuk kebijakan publik, maka akan mementingkan kelompok tertentu dan merugikan kelompok lain. Kebangsaaan pada akhirnya merupakan taruhan utamanya.
Kedelapan, moralitas dan pornografi. Ada 17 kasus yang berkaitan dengan masalah moralitas dan pornografi. Lagi-lagi, yang hendak ditawarkan kepada ruang publik adalah moralitas menurut kacamata agama tertentu. Yang paling mutakhir adalah Undang-Undang Pornografi. Meskipun mendapat penentangan yang keras dari masyarakat, khususnya kelompok minoritas, tetapi UU tersebut tetap disahkan oleh DPR.
Tentu, sejumlah kasus di atas dapat dijadikan landasan kuat, bahwa pluralisme pada tahun 2008 mempunyai wajah suram. Yang mana, jika praktek tersebut tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pada tahun-tahun mendatang, maka disintegrasi dan konflik sosial akan semakin menganga.
Amartya Sen (2006) dalam Identity and Violence memberikan pendasaran sosiologis yang sangat menarik, bahwa kekerasan terjadi akibatnya menguatnya ilusi tentang identitas yang soliter dalam sebuah kelompok. Jika identitas tersebut tidak didialogkan dalam ruang publik dalam koridor demokrasi, maka akan menjadi parasit yang amat serius.
Dengan demikian, kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 merupakan jalan keluar yang mesti diambil oleh pemerintah, DPR dan masyarakat. Sebab politik identitas hanya akan mengantarkan bangsa ini pada kubangan kehancuran dan ketidakpastian di masa mendatang.