Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

LOVE FOR ALL HATRED FOR NONE

Selasa, 03 Maret 2009

Pengorbanan dan Idul Adha


Tapi Quran Karim memberitahukan bahwa Hazrat Ibrahim as telah melihat ru’ya sedang menyembelih puteranya sendiri yang dalam penggenapan (ru’ya itu), Beliau as pergi ke lembah Ghairi dzi zar’in ‘inda baitikal muharrom dan meninggalkan Hazrat Ismail as disana dan juga pada kenyataannya Beliau as tidak menyembelihnya dengan tangannya. Seolah-olah dalam peristiwa Ibrahim as bibel mempersembahkan pengorbanan manusia sebagai asalnya (hakikat) dan sebaliknya menetapkan pengorbanan hewan sebagai penggantinya. Tapi Islam hanya menetapkan pengorbanan hewan sebagai pengorbanan yang hakiki (sebenarnya) dan memberitahukan bahwa dalam setiap agama pengorbanan hewan dari Allah Ta’ala lah yang ditetapkan sebagai pengorbanan yang hakiki. Kebiasaan mengorbankan manusia yang timbul didalamnya adalah akibat dari bertentangan dengan kehendak Ilahi dan telah rusaknya agama.

Sekarang timbul pertanyaan, kalaulah kebiasaan mengorbankan manusia bertentangan dengan kehendak Ilahi, maka kenapa hal ini diperlihatkan didalam ru’ya nabi Ibrahim as, ketika Beliau as sedang menyembelih puteranya? Maka jawabannya adalah sebenarnya didalam ruya tersebut mengandung corak penta’biran, kemudian dizahirkan oleh peristiwa yang akan terjadi sesudahnya. Ta’birnya adalah bahwa suatu hari Hazrat Ibrahim as akan meninggalkan puteranya Ismail as di suatu tempat atas perintah Allah Ta’ala dalam kondisi dimana kalau dilihat pada kenyataannya (mengisyarahkan) pasti akan terjadi kematian. Tapi Allah Ta’ala akan menerima pengorbanan beliau itu dan akan menciptakan sarana untuk kehidupannya dan dengan perantaranya Allah Ta’ala juga ingin menjadikan tempat peribadahan kuno itu sebagai tempat beribadah yang terakhir di dunia ini. Supaya, Sebagaimana Allah Ta’ala merupakan awwal dan akhir, begitu jugalah Mekah dan Madinah menjadi rumah pertama dan terakhir.

Sebagaimana dalam agama Islam peringatan Idul Adha bukanlah sebagai pengganti pengorbanan seekor kambing yang telah disembelih oleh Hazrat Ibrahim as tapi untuk mengenang pengorbnan Hazrat Ismail as sendiri yang dilakukan untuk meramaikan penduduk Baitullah. Dan dalam hal ini apa lagi yang diragukan, bahwa (sikap) Hazrat Ibrahim as meninggalkan puteranya di lembah yang gersang sama saja dengan (sikap) menyembelih (puteranya) dengan tangannya sendiri, tapi kenyataannya (meninggalkan di lembah yang gersang) lebih (menyakitkan) dari itu, karena kalau disembelih, dalam satu menit saja nyawa akan melayang (tidak terasa). Dan seandainya tidak ada karunia Allah Ta’ala (ketika di lembah gersang), maka beliau (Hz Ismail as) akan meninggal secara perlahan-lahan (lebih menyakitkan).

Jadi ru’ya Hazrat Ibrahim as bukanlah untuk menjadikan kebiasaan berkorban manusia, tapi dengan itu Allah Ta’ala ingin memberikan pelajaran kepada umat manusia bahwa pengorbanan yang sebenarnya adalah supaya manusia menanggung kesulitan untuk memberikan manfaat bagi dunia. Pengorbanan yang bisa diterima dalam pandangan Nya adalah yang bisa memberikan kehidupan bagi umat manusia.
Dalam hal ini penting sekali untuk memperhatikan bahwa Allah Ta’ala berfirman Wa likulli ummatin ja’alna mansakan, (dalam ayat ini) dijelaskan mengenai hakikat pengorbanan dan falsafahnya secara halus, dengan berfirman,” Hanya pengorbanan semata, tidaklah berarti apa-apa, tapi yang bernilai dan berkedudukan pada pandangan Allah Ta’ala adalah semangat keikhlasan yang melatar belakangi pengorbanan itu. Seandainya ada orang yang bisa mempersembahkan kambing dengan kualitas yang tinggi untuk disembelih, tapi dia tidak memperdulikan keridloan dan kesenangan Allah Ta’ala, maka (nilai) pengorbanannya di hadapan Allah Ta’ala tidak sama kandungannya dengan daun kering pun. Ini adalah isyarah halus yang Allah Ta’ala gunakan dalam kata mansakan yang artinya dalam bahasa arab shir’atun nashki nafsun naski dan maudlo’un tudzbahu fiihi annasiikatu yakni mansakun juga berarti cara-cara berkorban, jiwa pengorbanan juga berarti tempat yang digunakan untuk berkurban. Lafaz nasiikah dalam bahasa arab digunakan untuk (menyatakan) pengorbanan berasal dari kata nasaka, arti dari nasaka lillahi adalah tatlowwa’a biqurbatin qa dzabaha bi wajhihi (Aqrab) artinya satu pekerjaan baik yang dikerjakan tanpa diperintah atau tanggung jawabnya tidak diserahkan kepada orang lain, seseorang yang mengerjakan (sesuatu) dengan penuh kerelaan dan keridloan, dan bekerja dengan niat supaya dia bisa meraih keridloan Allah Ta’ala. Seolah olah untuk nasiikah, syaratnya adalah jangan atas dasar paksaan (mengerjakannya), tapi atas dasar kecenderungan alami, kehendak, dan hasrat, lalu dengan ikhlas karena Allah. Begitu jugalah makna dari nasakan nauba ghosalahuu bil maai fatohharohu, dia mencuci pakaian dan mengeluarkan segala macam kekotoran darinya dengan air. Jadi dalam ayat ini, dengan menggunakan lafaz mansakan memberikan nasihat untuk mengambil bagian dalam berkorban dengan penuh kerelaan hati dan keridloan, janganlah kalian berkorban atas dasar paksaan orang lain, karena dipandangan Allah Ta’ala pengorbanan yang diterima adalah yang dilakukan dengan kerelaan hati. Yang kedua, Tidak hanya memperhatikan kerelaan hati saja yang penting bagi kalian, tapi langkah berikutnya adalah lakukanlah pengorbanan sembari memperhatikan kerelaan dan keridloan Allah Ta’ala. Dan yang ketiga, pada saat berkorban tiliklah pada setiap sudut hati, perhatikanlah, apakah didalamnya sudah terkontaminasi dengan kekotoran hasrat-hasrat duniawi? Karena kalau begitu, pengorbanan kalian tidak akan diterima disinggasana Allah Ta’ala. Ini adalah pelajaran yang sangat halus dan berharga yang Allah Ta’ala jelaskan dalam kata yang sekecil-kecilnya, yang dengan mengambil manfaat darinya, manusia bisa meraih hasil yang tinggi dalam pengorbanannya.
Dalam kalimat Wa bashshiril mukhbitiinalladzina idza dzukirolloohu wajilat quluubuhum wassoobiriina ‘ala maa asopbahum wal muqiimissolaati wa mimma rozaqnaahum yunfiquwn diberitahukan 4 tanda orang-orang yang merendahkan hati di hadapan Allah Ta’ala. Yang pertama, ketika disebut nama Allah Ta’ala, hati mereka bergetar. Yang kedua, ketika datang musibah dan kesulitan di jalan Allah Ta’ala, mereka tabah dan sabar menjalaninya. Yang ketiga, mereka melaksanakan shalat berjamaah .Keempat, Apapun yang mereka dapatkan dari Allah Ta’ala, satu bagiannya dia belanjakan dijalan Allah Ta’ala.
Yang dimaksud kalimat wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquwn (mereka membelanjakan dari apa-apa yang kami rezekikan kepada mereka) dalam ayat ini tidak hanya uang. Dengan hanya memberikan beberapa rupiah saja, lantas manusia bisa dianggap sebagai orang yang telah melaksanakan kewajibannya. Tapi maksud dari wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquwn adalah bahwa matanya, otaknya, telinganya, hidungnya, tangan dan kakinya dan tubuhnya pun termasuk didalamnya (rozaqnaahum), maksud dari kalimat wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquwn juga rumahnya, Gandum/beras yang dia gunakan, bahkan sayur lobak, wortel, dan gula yang ditanam oleh petani pun termasuk didalamnya. Tidak diragukan lagi bahwa memang seseorang yang membelanjakan uangnya, bisa ditetapkan sebagai orang yang memberikan pengorbanan harta. Tapi syariat tidak hanya memerintahkan untuk memberikan pengorbanan harta saja, bahkan syariat juga memerintahkan supaya apapun yang telah kami berikan kepadamu, belanjakanlah satu bagiannya dijalan Allah Ta’ala! Jadi kalaulah ada orang yang menyerahkan seluruh harta kekayaannya sabagai candah, tapi matanya tidak mengambil bagian dalam mengkhidmati hamba Allah Ta’ala, tangan dan kakinya tidak mengambil bagian dalam mengkhidmati hamba Allah, maka dia tidak bisa mengatakan bahwa dengan menyerahkan seluruh harta kekayaannya, berarti kami sudah melaksanakan kewajiban kami. hal ini bisa disebut sebagai mantik (ilmu dalam berbicara), tapi tidak bisa disebut dengan agama. Untuk memenuhi tuntutan agama, perlu untuk menggunakan seluruh anggota tubuh untuk mengkhidmati hamba Allah Ta’ala.
Terdapat didalam hadits-hadits, bahwa ketika seluruh umat manusia akan dipersembahkan dihadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat, maka Dia (Allah) akan mengatakan kepada sebagian orang,” Wahai hambaku! Saat itu aku kelaparan, engkau telah memberikan aku makan, saat itu aku lapar, engkau telah memberikan aku minum, saat itu aku tidak berpakaian, engkau telah memberikan aku pakaian, saat itu aku sakit, engkau telah menjengukku, karena itu masuklah, masuklah kedalam surgaku! Hamba tersebut akan berkata,” tobah-tobah apalah dayaku sehingga aku bisa memberi engkau (Tuhan) makan, memberikan engkau minum, memberikan engkau pakaian, menjenguk engkau ketika sakit. Engkau terbebas dari semua (penderitaan) itu, Allah Ta’ala akan menjawab,” Tapi ketika hambaku yang hina dan kelaparan datang kepadamu, engkau memberinya makan, maka seolah-olah engkau telah memberiku makan, begitu jugalah ketika hambaku yang hina dan lapar datang kepadamu, lalu engkau memberinya minum, maka seolah-olah engkau telah memberiku minum, begitu juga ketika hambaku yang tidak berpakaian dan sakit, engkau telah memberinya pakaian dan menjenguknya, engkau tidak memberikan hamba itu pakaian, engkau tidak menjenguknya, tapi pada hakikatnya engkau telah memberiku (Tuhan) pakaian dan telah menjengukku, karena itu masuklah, masuklah kedalam sorgaku, Jadi Maksud dari wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquwn disini adalah memberikan perhatian kepada kita supaya seberapapun daya dan kekuatan yang didapatkan oleh seorang mukmin dari Allah ta’ala, maka dia (mu’min) itu wajib untuk menggunakan kekuatan itu hanya untuk kebaikan umat manusia, dan janganlah bahagia hanya dengan dia sudah memberikan rupiah, sudah mendirikan shalat, sudah berpuasa.
Perhatikanlah, suatu saat Rasulullah SAW pernah membuat satu gerakan pengorbanan harta, maka ada seorang sahabat yang tidak memiliki apa-apa, dia membawa dua butir manisan dari biji-bijian lalu di persembahkan dihadapan Rasulullah SAW. Setelah melihat pemandangan ini, para munafiqin tertawa dan mengatakan,’nah, sekarang dunia akan meraih kemenangan dengan dua butir manisan dari biji bijian. Padahal seandainya mata (orang munafiq) itu bisa berbicara, maka dia akan menganggap bahwa itu bukanlah dua butir manisan dari biji-bijian, tapi merupakan dua tetesan darah dari hati yang gelisah/tidak berdaya dalam mencintai Allah yang telah dia persembahkan kehadapan Rasulullah SAW dan dunia selalu menang dengan tetesan darah dari hati, bukanlah dengan sarana-sarana duniawi. Jadi tanda akan sempurnanya keimanan adalah bahwa apapun yang kalian makan di dirumah-rumah kalian, apapun yang kalian hasilkan dari mata pencaharian kalian, apapun yang kalian pakai, apapun yang kalian belanjakan, berikanlah satu bagiannya kehadapan Allah Ta’ala dan gunakanlah kekuatan kalian hanya semata-mata untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia.

(Tafsir Kabir jilid 6, hal 52,53)
Penerjemah:Mahmud Ahmad Wardi

ShareThis

 

Kembali lagi ke atas