Jumat, 18 Februari 2011
Ahmadiyah, Surga Neraka, Urusan Allah
JAKARTA- Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Mas'udi di kantornya di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat memberikan wawancara seputar penyerangan, kekerasan, dan pembunuhan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, seperti yang diungkapkan detikcom sebagai berikut:
Bagaimana tanggapan anda soal penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten?
Pertama-tama yang ingin saya tegaskan, negara itu wajib melindungi rasa aman dari seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan agama, keyakinan maupun suku dan sebagainya. Itu pertama yang harus betul-betul ditunaikan tanpa tawar-menawar lagi. Dan untuk itu, negara sudah memiliki segala persyaratan yang dibutuhkan, ada aparat kepolisian dengan perangkatnya termasuk untuk penindakan sampai intelijennya. Kalau polisi tidak sanggup, bisa menggunakan aparat lainya seperti militer.
Kalau perlu Nahdlatul Ulama (NU) siap membantu dan amankan segenap warga. Jangan sampai ada kezaliman di antara warga dan sesama warga. Pertumpahan darah itu mutlak harus dihidarkan. Satu nyawa hilang itu sudah terlalu banyak. Kalau nyawa sampai hilang bukan karena nyawa, tapi itu sama saja menghilangkan seluruh umat manusia, ini adalah sesuai Alquran.
Jadi membiarkan seorang warga negara terbunuh tanpa alasan pembunuhan, maka sebenarnya sama saja membiarkan seluruh warga negara ini terbunuh. Bahkan di dalam Alquran bukan hanya seluruh warga negara, tapi seluruh umat manusia, bila ada nyawa seorang dibiarkan melayang tanpa alasan yang setimpal.
Berkaitan dengan soal keimanan, negara kita kan bukan negara agama, bukan negara agama tertentu. Tetapi negara yang melindungi keyakinan segenap warganya, maka negara tidak boleh mendiskriminasi perlindungan kepada warga negara atas pertimbangan keyakinan tertentu, itu tidak boleh. Dan, NU berada di belakang misi negara itu.
Apakah konflik terjadi karena perbedaan keyakinan di antara warga itu sendiri?
Itu yang sebenarnya tidak boleh. Perbedaan keyakinan memang tidak mungkin dihindari, karena agama memang teksnya terlalu mendalam dan luas. Oleh karena itu tafsir terhadap teks agama itu suatu keniscayaan. Tidak ada suatu ajaran agama yang hanya ada satu tafsir dan semua tafsir sebenarnya itu dilindungi. Bahwa ada yang mengaku dirinya benar dan yang lain itu salah, itu biasa. Tetapi kalau semua mengaku benar dan semua mengaku yang lain salah, maka sesungguhnya tidak ada yang mutlak benar.
Perbedaan keyakinan tidak bisa menjadi alasan untuk memaksa keyakinan saya terhadap orang lain. Karena yang memberikan petunjuk ke jalan benar itu hanya Allah. Innaka laa tahdi man ahbabta walakinnallaaha yahdi man yasya, sesungguhnya kamu tidak bisa memastikan hidayah kepada orang lain, hanya Allah lah yang dapat memasukan hidayah kepada hamba-Nya yang dikehendaki (surat Al Qoshosh ayat 56).
Di dunia ini kan bukan surga dan juga bukan neraka. Jadi di sini itu ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang kafir, ada yang mukmin, ada yang tersesat dan ada yang mendapatkan hidayah, inilah dunia. Jangan berpikir dunia ini adalah surga, dan semuanya harus mukmin. Dan jangan berpikir bahwa dunia ini adalah neraka, semuanya harus kafir, tidak seperti itu.
Soal surga-neraka, tersesat dan mendapatkan hidayah hanya Allah yang tahu. Bahkan
dalam Islam, kalau ada orang mengkafirkan orang lain, maka boleh jadi sesungguhnya
dia kafir. Jadi jangan gampang mengkafirkan orang. Anda boleh saja meyakini seyakin-yakinnya apa yang anggap anda imani benar, tapi jangan pada saat yang sama mengaku sayalah satu-satunya paling benar, orang lain salah atau menuding keyakinan orang lain itu salah.
Jadi bagaimana sebaiknya menghadapi jemaat Ahmadiyah?
Saya ambil contoh di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat asuhan almarhum KH Ilyas Ruhyat (mantan Rais Am PBNU), di sekitar itu sudah berpuluh-puluh tahun ada sebuah masjid Ahmadiyah. Pas bertetanggaan dengan pesantren, dan dari dahulu tidak pernah ada santri yang menggruduk atau mengejek anggota jemaat Ahmadiyah. Mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, itulah yang terjadi di lingkungan NU sebenarnya.
Bahwa anda memiliki keyakinan seperti itu dan anda bertekad menjalankannya, itu hak anda. Memang kita memang mempunyai kewajiban moral untuk melakukan dialog, memberi tahu atau dakwah. Tetapi melakukan dakwah mengajak orang mendekatkan dengan keyakinan kita harus dengan bil hikmah atau bijaksana. Tidak ada kata paksaan dalam dakwah itu. Apabila kita sudah berdakwah atau kita sedikit bermujadalah(perdebatan). Kok masih tidak mau menerima apa keyakinan kita, ya sudah, kewajiban kita sudah gugur. Tidak ada keimanan yang bisa dipaksakan. Mungkin orang bisa dipaksa tubuhnya, tapi hatinya tidak bisa dipaksa.
Dakwah yang paling efektif itu dakwah melalui perilaku, bukan dengan kata-kata, apalagi dengan kekerasan. Kalau orang Islam memperlakukan orang lain dengan kekerasan dan kekejaman, itu sebetulnya dia sedang melecehkan secara telak agamanya sendiri. Karena orang akan bertanya, loh agamanya mulia, tapi kenapa perilaku dan akhlaknya buruk dan kejam? Jadi orang Islam yang suka dan sering memekikan suara keras dan jihad, sesungguhnya dia bukan membela Islam, tapi sedang meruntuhkan kewibawaan dan nama baik Islam.
Kawasan Cikeusik, Pandeglang, Banten walau dikenal masyarakatnya keras tapi belum pernah terjadi bentrokan antar keyakinan agama. Apakah ini ada rekayasa untuk memicu kekerasan itu sendiri?
Memang belakangan ini, sekitar sepuluh tahun belakangan terakhir ini pengaruh dari kelompok-kelompok radikal yang dibiayai dengan uang yang banyak dari Timur Tengah menjalar ke mana-mana. Meskipun kita ketahui dalam dunia Islam, perbedaan mazhab dan perbedaan tafsir itu sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman para sahabat itu sudah ada orang menafsiri sebuah ayat yang sama dengan tafsir yang berbeda. Jadi sesungguhnya itu sudah alami dan memang tafsir itu bisa berbeda-beda.
Tapi tafsir yang berbeda dan diikuti dengan pemaksaan, penistaan sampai pembunuhan baru belakangan ini lebih marak. Jadi dahulu pernah ada pada zaman klasik itu. Misalnya konflik antara lain dengan kaum Khawarij dan Syiah sampai pertumpahan darah dan lainnya. Kemudian orang berpikir bila lama-lama seperti ini bisa habis, maka wisdom atau kearifan yang muncul, bahwa tidak ada di dunia manapun yang memiliki satu tafsir, tapi banyak dan berbeda-beda.
Untuk mensikapi adanya tafsir-tafsir yang berbeda ini, ya sudah kita sama-sama menghormatinya. Bahwa kami juga minta dihormati untuk mengikuti tafsir kami, sebagaimana anda juga kami menghormati untuk mengikuti tafsir anda. Itulah yang paling fair (adil), toh kita sama-sama tidak tahu siapa yang sesungguhnya secara hakiki di jalan yang benar. Kita hanya berdoa saja kepada Allah SWT untuk dibimbing di jalan yang benar. Kita tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah sepenuhnya berada
di jalan yang benar, itu tidak boleh karena itu namanya takabur.
Kita salat setiap hari lima waktu ada 17 rakaat, kita setiap rakaat selalu baca Al Fatihah dengan doa ihdinash shiroothol mustaqiim, tunjukilah kami ke jalan yang benar. Itu artinya apa? Orang Islam setiap menjalankan ibadahnya sekalipun tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah ada di jalan yang benar. Justru kita harus terus memohon kepada Allah untuk dibimbingnya. Justru kita harus rendah hati dan jauh untuk mengklaim saya sudah ada di jalan yang benar, apalagi sambil menuding orang lain kau sesat dengan diikuti tindakan kekerasan. Ini nauzubillah minzaliq, itu jauh dari kebenaran.
Apakah bisa dikatakan semakin banyaknya tindak kekerasan mengatasnamakan agama karena pengaruh radikalisme Timur Tengah?
Memang tindakan manusia tidak pernah bisa disederhanakan pada satu faktor saja, selalu ada multi faktor. Taruhlah faktor faham radikalisme itu memiliki peranan, meskipun tidak seratus persen. Tapi juga ada faktor-faktor lainnya, misalnya faktor adanya provokator dan yang tidak kalah penting faktor kelambanan aparat pemerintah dalam bertindak preventif. Ini sangat penting sekali.
Oleh karena itu, ini harus menjadi catatan yang sangat kuat bagi kita bahwa semua faktor-faktor yang bersifat pemahaman tidak bisa berdiri sendiri. Kalau ada orang yang berbeda faham, kemudian tumbuh menjadi saling curiga sampai saling membenci. Tapi kalau aparat keamanan pemerintah bertindak tegas, tentunya tidak akan meledak menjadi kenyataan. Itu yang kita sesalkan, kenapa aparat keamanan tidak bertindak tepat waktu.
Sebenarnya beliau-beliau itu sudah tahu ada riak-riak seperti di Banten atau Temanggung, itu sudah diketahui dua hari sebelumnya gelagat-gelagat itu. Persoalannya kenapa tidak dilakukan pencegahan? Sebenarnya itu hak aparat keamanan untuk mencegahnya, apalagi sudah ada tanda-tanda datangnya rombongan dari Solo, Semarang, Pekalongan ke Temanggung untuk melakukan tindakan kekerasan atas protes putusan pengadilan. Kenapa ini tidak dicegat di tengah jalan? Sebelum sampai ke tempat kejadian. Membiarkan mereka sampai ke tempat kejadian dan berkumpul ribuan orang itu pasti
akan sulit sekali. Tapi kan bisa dicegah sebelumnya, kan jarak Pekalongan-Temanggung, Solo-Temanggung tidak dekat. Sepanjang puluhan dan ratusan kilometer kan bisa dilakukan pencegahan. Ini yang kami sesalkan kenapa aparat tidak bertindak semestinya sesuai tanggung jawabnya melindungi masyarakat agar tidak bertumpah darah.
Kelambanan atau kelalaian aparat keamanan dan pemerintah ini bisa diartikan juga sebagai upaya memperkeruh konflik antar kelompok masyarakat beragama ini?
Kelambanan itu bisa dituduh sebagai by omission atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi karena pembiaran dan tidak mengambil tanggung jawab. Sekali lagi kami katakan, aparat keamanan harus ambil tanggung jawab melindungi masyarakat, apalagi yang menyangkut perbedaan keyakinan ini. NU sendiri akan mensupport aparat keamanan kalau soal ini.
Jadi bagaimana seharusnya menghadapi jemaat Ahmadiyah ini?
Kewajiban kita kepada orang yang berbeda keyakinan, kalau kita merasa terpanggil, ya dakwah atau mengajak dengan bijak. Kalau memang diperlukan semacam diskusi, dialog atau berdebat, adu argumentasi dengan cara santun daripada orang yang kita hadapi. Kalau sudah cara-cara itu kita lakukan dan mereka tidak mau berubah, ya sudah, kita sudah selesai kewajibannya.
Tidak ada sedikitpun ruang bagi kita untuk memaksa mereka agar meyakini apa yang kita yakini. Kalau kita memaksakan begitu, lagi-lagi kita telah mengklaim saya sudah berada di jalan yang sepenuhnya benar dan anda di jalan kesesatan. Kita harus terus memohon petunjuk kepada Allah SWT. Artinya kita harus lebih redah hati dan jauhkan mengklaim diri kita sudah berada di jalan yang benar. Kita berdoa semoga kita bisa dibimbing ke jalan yang benar, bukan kita yakin betul kita sudah berada di jalan yang benar.
Betulkah ada dalil yang membenarkan untuk memerangi kelompok semacam Jemaat Ahmadiyah atau aliran sesat lainnya?
Tidak ada, tidak ada dalil yang mengatakan orang bisa dibunuh karena perbedaan keyakinan. Memang dalam Alquran ada izin untuk memerangi orang lain dengan alasan agama, kalau memang kita diperangi. Kalau kita tidak pernah diperangi mereka, ya kita tidak boleh memerangi mereka.
Justru kalau kita hadapi dengan kelembutan, tentu hasilnya akan lebih baik. Ini sama ketika Rasulullah SAW akan dibunuh, tapi pedang musuhnya terjatuh. Nabi membiarkannya dan mengampuninya. Itu begitu kuatnya akhlak dan kelembutan hati yang bisa mengubah orang. Cara efektif mengubah keyakinan itu dengan akhlak yang baik, kesalehan amal, bukan dengan pedang.
Begitu juga di NU, kita akan menghadapi kelompok-kelompok ini dengan cara-cara santun dan dakwah yang bijak. Kalau ada yang melawan dengan kekerasan, kami serahkan kepada negara yang memiliki hak dan tanggung jawab. Negara punya hak monopoli untuk menindak pelaku kekerasan demi melindungi masyarakat lainnya. Tidak boleh masyarakat menggunakan alat kekerasan.
Bagaimana solusinya agar tidak terjadi pemaksaan dan penyerangan kepada kelompok agama yang beda keyakinan?
Jangan kita pernah memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Biarkan itu diserahkan kepada Allah yang akan memberikan hidayah. Memang dalam beberapa kasus belakangan ini, banyak yang menunjukan keimanan dengan cara penuh kesombongan. Padahal kesombongan ini lebih buruk dari kesesatan atau kejahatan itu sendiri serta lebih buruk dari dosa besar lainnya. Kesombongan atas keimanan kita itu lebih berbahaya dari yang lainnya.
Sumber: detikcom/(zal/iy)