Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

LOVE FOR ALL HATRED FOR NONE

Selasa, 12 Januari 2010

Berbagai Segi Pardah

...."Yang dilarang adalah kalau wanita pergi kesana-kemari dengan wajah terbuka dan bergaul bebas dengan pria. Ya, kalau dia menurunkan kain tipis pada bagian atas pardah dan menutupi wajah lalu melihat jalan dan lain lain dengan mata, diperbolehkan, tapi kalau membuka penutup wajah atau pergi ke pesta-pesta umum, padahal disana-sini terdapat laki-laki, lalu tanpa rasa canggung dia mengobrol bebas tentang hal-hal yang tidak perlu dengan laki-laki, itu tidak boleh. Begitu juga wanita tidak boleh memperdengarkan syair-syair kepada pria, karena ini adalah perbuatan yang laghou."

selengkapnya....silahkan baca!
Firman Allah Ta’ala:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS. 24:31)

Disini telah diberitahukan lagi satu cara supaya terhindar dari keburukan yakni, bagi pria mukmin dan wanita mukmin biasakanlah untuk menundukkan pandangannya, karena dengan cara itu, peluang untuk terjadinya keburukan akan sangat sedikit dan jalan untuk tersebarnya keburukan akan tertutup. Seolah-olah meskipun telah ada perintah berkenaan dengan pardah yang telah dijelaskan dalam ayat-ayat Ilahi, tapi masih terbuka kesempatan untuk berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan. Dalam kondisi yang seperti itu diperintahkan supaya pria dan wanita, keduanya membiasakan untuk menundukkan pandangannya, supaya syaitan tidak akan menggelincirkannya dan kesucian hati mereka akan tetap terjaga. Adalah aneh ketika Hazrat Al-Masih as juga didalam injil melarang untuk memandang wanita lain (bukan muhrim) dan Islam juga melarangnya. Tapi Hazrat Al-Masih as hanya mengatakan,”
“Barang siapa yang melihat seorang wanita (bukan muhrim) dengan pandangan birahi, berarti didalam hatinya dia sudah berzina dengannya.”(Matius Pasal 5, ayat 8)

Tapi Islam mengatakan, “Janganlah engkau memandang wajah wanita lain, baik dengan pandangan yang baik maupun pandangan yang buruk, karena seandainya kamu memandangnya, maka syaitan bisa menggelincirkanmu dan setelah itu akan menanamkan benih keburukan didalam hatimu.” Kalau Islam di satu sisi memerintahkan kaum pria untuk menundukkan pandangannya, bersamaan dengan itu Islam pun menekankan kepada kaum wanita. Sedangkan agama Kristen hanya memerintahkan ajaran itu kepada laki-laki saja, itu pun dalam corak memberikan izin (kepada laki-laki) untuk memandang perempuan yang bukan muhrim secara terang-terangan. Sedemikian rupa penuh kehati-hatian dalam memberikan petunjuk, sehingga mengatakan, “Janganlah memandang dengan pandangan yang buruk (birahi),” tapi itu tidak lain, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair (dalam bahasa Parsi),


“Darmiane ta’re dariya takhta bandam kardae - Baaz mi goiy keh daman tar maken hasyiar baash.”
Artinya: “Memenjarakan (seseorang) di tengah-tengah sungai, lantas mengatakan, ‘Hati-hati, jangan sampai pakaian kamu basah!’ Benar-benar bertentangan dengan akal.”
Begitu juga dengan mengatakan,”Pandanglah wanita-wanita, tapi janganlah memandang dengan pandangan yang buruk (birahi). [Perintah] itu tidak bisa dikatakan layak untuk diamalkan dalam corak apapun, karena akar dari keburukan adalah [disebabkan] oleh pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Seandainya akar itu dibiarkan tumbuh, maka tidak akan mungkin keburukan itu bisa berhenti. Walhasil Agama Kristen mempersembahkan sebuah ajaran yang tidak layak untuk diamalkan, tapi Islam memerintahkan supaya pria jangan melihat wanita yang bukan muhrim dan menjaga keimanan dan ketakwaan.
Tapi sebagian orang yang tidak terbiasa untuk memperhatikan hakikat, telah keliru mengambil kesimpulan dari perintah itu bahwa menurut mereka hukum Islam tidak diperbolehkan memandang setiap bagian manapun dari wanita yang bukan muhrim, padahal ini tidaklah benar. Seandainya ini adalah kehendak syariat Islam supaya jangan memandang bagian manapun dari tubuh wanita, maka kalau begitu, tidak akan diizinkan wanita keluar dari dinding tembok rumah dan jendela rumah pun akan dibuat tertutup seperti halnya penjara yang dibuat oleh raja-raja yang kejam pada zaman dahulu, padahal wanita adalah jenis manusia juga sebagaimana halnya pria dan kebutuhan alaminya pun seperti layaknya pria sehingga hukum alami Allah Ta’ala juga berpengaruh sama terhadap keduanya. Hukum itu pun menuntut supaya (wanita) bisa berjalan-jalan menghirup udara bebas untuk kesehatan dan kekuatannya, jangan sampai dengan memikirkan hidup terkungkung didalam ruangan terbatas akan menciptakan kelemahan pada badan.

Hakikat Jiwa Pardah
Selama syariat mengizinkan wanita pergi keluar rumah, sudah lazim, ketika dia pergi keluar (rumah), pandangannya akan banyak tertuju kepada bagian-bagian tubuh kaum pria, sebagaimana pandangan kaum pria tertuju kepada bagian tubuh wanita, meskipun mereka bersembunyi dibalik pakaian dan itu tidak dilarang. Pada hakikatnya, yang merupakan jiwa dari pardah dan (inti pokok) yang diperintahkan dalam ayat ini adalah “menghindarkan bertemunya kedua pandangan itu (pria dan wanita)”. Dan bagian tubuh yang tidak bisa dihindari mata (untuk memandangnya) atau sangat sulit terhindar dari memandangnya adalah (bagian) wajah. Sedangkan untuk bagian tubuh yang lain, selama bagian itu tertutup dengan pakaian yang sesuai, karena memang tidak perlu untuk disembunyikan dan tidak juga bisa disembunyikan, selama wanita tidak meninggalkan kebiasaan pergi ke jalan-jalan umum dan pasar-pasar atau sama sekali kanate taan wanita tidak melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Itu mustahil.
Bagi para wanita bangsawan, mereka bisa berjalan-jalan di halaman rumahnya yang luas, tapi bagaimana halnya dengan wanita-wanita miskin atau kalangan menengah? Tapi para wanita bangsawan pun [kadang] terpaksa pergi dari satu rumah ke rumah lain yang jauh jaraknya untuk bertemu (dengan seseorang), dan wajar saja kalau pandangan mereka tertuju kepada bagian-bagian tubuh para pria yang sedang berjalan di jalan-jalan umum, di gang-gang dan juga yang sedang berada di halaman, stasiun dan dalam kendaraan. Begitu juga sebaliknya, pandangan para pria pun tertuju kepada bagian tubuh para wanita, kecuali kalau pada saat mereka keluar rumah, mata mereka ditutup supaya tidak bisa melihat satu sama lain, tapi tidak akan ada orang yang bijaksana yang bisa mengizinkan hal itu.
Walhasil, bukanlah kehendak dari perintah ghadd e bashr (tundukkan pandangan) supaya wanita dilarang untuk memandang bagian manapun dari tubuh pria atau sebaliknya, tapi hanya menghindarkan dari bertemunya pandangan antara laki-laki dan perempuan, karena (tidak bisa dihindari) bahwa wanita yang pergi keluar rumah, kaki mereka, langkah, tubuh, gerakan tangan, begitu juga hal-hal yang lainnya akan nampak kepada para pria. Begitu juga bagian-bagian tubuh wanita akan nampak pada para pria, dan untuk hal yang demikian, syariat tidak melarang. Tapi bagi wanita yang tanpa hijab menghampiri pria dan tanpa rasa canggung bergaul dengannya, disebabkan hal itu akan menimbulkan gejolak pada tuntutan hewani manusia dan akan mendorongnya kepada nafsu birahi, untuk itu syariat melarang hal yang demikian dan telah memerintahkan pardah kepada kaum wanita.
Pada tempat ini hendaknya diingat bahwa Al-Qur’an Karim tidak menggunakan cara dengan memerintahkan kaum wanita secara terpisah dari kaum pria. Tapi seiring perintah yang ditujukan kepada kaum pria, didalamnya juga termasuk untuk kaum wanita. Pertama-tama disini diperintahkan kepada laki-laki mukmin, supaya menundukkan pandangannya dan juga menjaga farjinya, setelah itu mengatakan Qul lilmu’minaati (katakanlah bagi wanita mukmin) perintah kepada wanita mukmin, supaya mereka pun menundukkan pandangannya dan menjaga farjinya. Satu alasannya bahwa keburukan ini biasa dijumpai pada wanita juga, karena itu perlu adanya perintah secara terpisah bagi kaum wanita supaya mereka juga diperintahkan untuk menundukkan pandangannya. Selain itu, berdasarkan ilmun-nafs (ilmu kejiwaan) bahwa awal mula terciptanya hubungan antara laki-laki dan perempuan selalu disebabkan karena bertemunya pandangan keduanya. Adalah suatu kaidah bahwa ketika pandangan tertuju pada salah seorang, meskipun pandangan yang lainnya tertunduk, tetap saja akan berpengaruh padanya. Karena itu perintah ini bisa bermanfaat, kalau ditujukan kepada kedua-duanya (pria dan wanita) dan bagi keduanya ditetapkan aturan dalam hal ini, supaya mereka jangan melihat satu sama lain, janganlah laki-laki memandang perempuan, jangan juga sebaliknya.

Makna Perhiasan Wanita

Wa laa yubdiina ziinatahunna,
Kemudian bersabda, “Janganlah perlihatkan kepada orang-orang ketika memakai pakaian dan perhiasan yang bagus, kecuali yang nampak dengan sendirinya dan tidak ada dosa atas kalian akan nampaknya hal itu. Berkenaan dengan Maa Zoharo minha para Mufassirin berbeda pendapat, apa maksudnya? Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud perhiasan adalah pakaian, dan sebagian lagi berpendapat, maksudnya adalah perhiasan yang terdapat pada tangan dan kaki perempuan, seperti cincin, gelang tangan, gelang kaki, dan lain-lain, sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa maksud perhiasan disana adalah tangan sampai sikut, sebagian lagi berpendapat itu artinya burkah dan cadar pada bagian atas, sebagian lagi berpendapat mehendi (gambar pada kulit) pada tangan. Tapi kata-kata yang digunakan oleh Al-Qur’an Karim adalah (Illa maa zoharo minha) yakni kecuali yang zahir dengan sendirinya. Kata-kata ini membuktikan bahwa sesuatu yang nampak dengan sendirinya, hanya itu saja yang diperbolehkan nampak oleh syariat. Bukanlah maksudnya bahwa bagian mana yang wanita ingin menampakkannya sendiri, maka dizinkan baginya untuk menampakkannya. Menurut hemat saya, bagian yang utama yang zahir dengan sendirinya ada dua yaitu tubuh (qad) dan gerakan tubuh, caal (langkah, sikap) tapi secara logika, hal ini jelas jika ditinjau dari sudut pandang pekerjaan wanita, atau dari sudut pandang keterpaksaan bahwa bagian yang nampak dengan sendirinya itu tidak termasuk kedalam (aturan) pardah. Jadi, berdasarkan izin itulah seorang Tabib (dokter) (bisa) melihat urat nadi kaum wanita, karena penyakit yang telah memaksanya (wanita) untuk memperlihatkan bagian (tubuh) itu. Seandainya pada wajah (pasien wanita) terdapat penyakit kulit, maka tabib pun akan melihat wajahnya, kalau (pasien wanita) memiliki penyakit dalam, maka dia (dokter) akan melihat lidahnya (pasien itu).
Hazrat Aisyah ra bersabda, “Pada saat peperangan, kami biasa memikul air, sehingga betis kami selalu terbuka.” Terbukanya betis pada saat itu adalah tidak bertentangan dengan Al-Qur’an Karim, bahkan sesuai dengan perintah Al-Qur’an. Dari sudut pandang keperluan peperangan, perlu supaya kaum wanita pun melakukan tugasnya, dan disebabkan karena berlari-lari, betis dengan sendirinya menjadi terbuka, karena pada saat itu bukanlah memakai celana panjang (pajama), tapi biasa memakai sejenis kain sarung, atas dasar itulah, Seandainya kesibukan (pekerjaan) rumah tangga menuntut para wanita terpaksa bekerja di sawah atau di lapangan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk membiarkan terbuka bagian mata sampai hidung dan tidak akan dianggap sebagai pardah yang tidak lengkap, karena tanpa terbukanya itu, wanita tidak akan bisa melakukan pekerjaan. Bagian (tubuh) yang terpaksa harus dibuka untuk kepentingan hidup dan mata pencaharian, dengan terbukanya itu, adalah termasuk dalam perintah pardah (tidak melanggar). Begitu juga wanita yang terpaksa (bekerja) didalam air, bagi mereka juga diperbolehkan untuk melipat (mengangkat) pajama (celana panjang) sehingga betisnya menjadi terbuka. Tapi pekerjaan yang tidak memaksanya untuk mengangkat celananya untuk bekerja di lapangan terbuka, bagi wanita seperti itu mutlak tidak diizinkan. Maksudnya, berdasarkan ayat Illa ma Zoharo minha, dalam keadaan terpaksa, bagian (tubuh) manapun yang harus di buka, maka bisa dibuka. Misalnya wanita tuan tanah, bagi mereka tidak akan bisa mengerjakan pekerjaan memikul dan lain-lain atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan pertanahan dengan memakai niqab (penutup wajah), baginya diperbolehkan untuk membiarkan terbuka bagian tangan dan bagian mata sampai hidung, sehingga mereka bisa melakukan pekerjaannya. Tapi bagi wanita yang tidak terpaksa melakukan pekerjaan yang seperti itu, yakni kaum wanita (yang pekerjaannya) hanya keluar rumah untuk melakukan perjalanan, diperintahkan bagi mereka supaya menutup wajahnya.
Jadi maksud dari Illa maa zoharo minha adalah bagian yang dengan sendirinya nampak atau karena terpaksa bagian itu tidak bisa disembunyikan, apakah keterpaksaan itu dari sisi dibuat-buat seperti halnya tubuh, itu juga merupakan satu perhiasan, tapi tidak mungkin untuk menyembunyikannya (tubuh), karena itu, syariat tidak melarang untuk menzahirkannya, atau dari sudut pandang penyakit, jika terpaksa ada bagian tubuh yang harus diperlihatkan kepada dokter. Bahkan Hazrat Masih Mau’ud as bersabda,” Mungkin saja seorang dokter memerintahkan kepada seorang wanita untuk membuka penutup wajahnya, Seandainya tetap ditutup, maka kesehatannya (wanita itu) akan rusak, lalu dokter memerintahkan untuk berjalan kesana-kemari, maka dalam keadaan seperti itu, kalau wanita tadi (karena mentaati perintah dokter) berjalan kesana-kemari dengan wajah terbuka, maka itu diperbolehkan.
Tapi beberapa ahli fiqih berpendapat, kalau ada wanita yang sedang hamil dan (didaerah itu) tidak ada dokter perempuan, dan dokter memerintahkan,” Kalau kamu tidak meminta bantuan seorang dokter ahli, maka jiwanya akan terancam. Maka dalam kondisi seperti ini, kalau wanita itu pergi kepada dokter laki-laki untuk proses melahirkan anak, maka itupun diperbolehkan. Bahkan kalau ada wanita yang tidak datang kepada dokter laki-laki untuk membantu proses kelahiran anaknya dan anaknya mati, maka dia akan dianggap sebagai pendosa di hadapan Allah Ta’ala, sama halnya dengan dia bunuh diri. Jadi keterpaksaan pun mungkin saja dari sudut pandang pekerjaan. Seperti halnya seorang perempuan tuan tanah yang saya berikan contoh tadi, tidak akan mungkin pekerjaannya akan berjalan, sebelum dia menolong para (pekerja) pria dalam bisnis itu. Semua hal ini temasuk kedalam Illa ma zoharo minha.

Makna Khimar dan Ajaran Menutup Wajah
Kemudian bersabda,

Walyadlribna bikhumurihinna ‘alaa juyuubihinna.”
“Dan hendaklah mereka menarik kain penutup kepalanya sampai kepada dada.”
Khimar bukanlah nama dari cadar atau dupatta (kain penutup kepala dan dada di India), tapi kain yang digunakan para wanita untuk menutup kepala pada saat bekerja. Jeb dalam bahasa arab disebut dengan belahan pada bagian ujung kameez (kemeja ala wanita india), seperti di negeri kita (india) disebut dengan geriban. Geriban dibuat dengan berbagai gaya, sebagian orang memasangnya pada bagian belakang, ada yang memasangnya pada bagian pundak sebelah kanan, ada yang pada bagian pundak sebelah kiri, ada yang di bagian depan, ada juga yang dipasang di keduanya yakni kiri dan kanan.
Kebiasaan di negeri arab memasang belahan pada baju itu di depan, yakni pada bagian dada, dan kebiasaan pada kaum wanita Arab mereka kain menutupi bagian punggung dan pundak dan membiarkan bagian dada terbuka sebagaimana yang kita lihat pada kaum wanita Eropa dizaman sekarang. Allah Ta’ala berfirman,” Walyadlribna bikhumurihinna ‘ala juyuubihinna hendaknya mereka menutup dada mereka dengan kain. Karena juyub mereka berada pada bagian depan, karena itu maknanya adalah menarik pakaian dari atas kepala sampai ke dada, yakni menurunkan kain penutup kepala, menutupi wajah sampai kebawah, bukan berarti bahwa tutupkanlah kain dupatta ke dada, karena khamar tidak memiliki ancal dan kecil. Maksudnya adalah turunkanlah kain itu dari kepala sampai pada dada supaya wajah tidak nampak kepada pria yang datang dari arah depan.
Petunjuk ini memberitahukan bahwa wajah kaum wanita adalah termasuk kedalam aturan pardah, tapi sebagian orang beranggapan keliru bahwa bagi wanita tidak ada pardah untuk wajah, padahal, yang perlu diperhatikan bahwa, apa yang Rasulullah SAW fahami berkenaan dengan ayat-ayat ini dan bagaimana pengamalan para sahabat dan sahabiat (wanita) akan hal tersebut? Untuk maksud inilah, kalau kita perhatikan hadits-hadits dan sejarah Islam, akan diketahui dengan jelas, bahwa pada zaman itu, wajah juga termasuk kedalam pardah, sebagaimana tertulis, bahwa Rasulullah SAW mengutus Ummi Salamah untuk urusan Ristha nata, untuk melihat bagaimana (kondisi fisik-pent) perempuan itu? (Musnad Ahmad Bin Hanbal Jld III, Hal.231). Seandainya pada saat itu (bagian wajah) tidak tertutup, maka apa perlunya Rasulullah SAW mengutus seorang perempuan untuk melihat bagaimana warna kulit wanita itu, dll.?
Begitu juga diriwayatkan didalam Hadits-hadits, bahwa pada zaman Rasul Karim SAW seorang pemuda menyukai seorang perempuan untuk dilamar, sang pemuda meminta kepada ayah si perempuan itu, “Saya menyukai segala sesuatunya, saya hanya meminta agar bapak mengizinkan saya untuk bisa melihat wajah puteri bapak sekali saja, supaya hati saya tenang.” Karena pada saat itu, perintah pardah sudah turun, ayah si perempuan itu meganggap hal ini tidak sopan sehingga dia (sang ayah) menjadi marah. Datanglah sang pemuda itu (mengadu) ke hadapan Rasulullah SAW dan mengungkapkan seluruh peristiwa yang telah terjadi. Rasulullah SAW bersabda, “Memang perintah pardah sudah turun, tapi (perintah) itu ditujukan untuk wanita yang lain (bukan yang sedang dilamar-pent). Seorang wanita yang akan dinikahi oleh seorang pria, dan orang tua wanita itu sudah merestuinya, maka sebelum menikahinya, Seandainya si laki-laki itu ingin melihat (wajah) si wanita, maka dia bisa melihatnya sekali.” Bersabda, “Pergilah dan katakan pada ayah si perempuan itu!” Pergilah sang pemuda dan menyampaikan pesan Rasulullah SAW kepada ayahnya, tapi ternyata keimanannya (sang ayah) masih belum matang, dia menjawab, “Saya bukan tipe orang yang tidak punya malu, sehingga memperlihatkan (wajah) anakku kepadamu.” Sang perempuan yang sedang terduduk dan mendengarkan obrolan itu di dalam kamarnya, ketika ayahnya mengingkari sabda Rasulullah SAW untuk memperlihatkan wajah anaknya, maka seketika itu wanita itu membuka penutup wajahnya dan keluar dari kamarnya, lalu berkata, “Ketika Rasulullah SAW sudah memerintahkan untuk melihat wajah saya, apa hak ayah saya untuk mengingkarinya, sekarang aku berdiri di hadapanmu, lihatlah aku!” (Ibnu Majah Kitabun Nikah dan Musnad Ahmad Bin Hanbal jld IV Hal.244).
Seandainya wanita itu terbiasa pergi keluar rumah dengan wajah terbuka, maka apa perlunya si pemuda itu mengatakan hal itu kepada ayah sang perempuan untuk meminta diperlihatkan wajah puterinya? Dan apa maksud dari meminta izin kepada Rasulullah SAW berkenaan dengan itu? Begitu juga terdapat didalam hadits-hadits, suatu ketika Rasulullah SAW bersama salah seorang istri Beliau yang bernama Shafiah ra pada malam hari melewati suatu gang, Beliau melihat ada seorang pria yang datang dari arah depan, Beliau SAW merasa ragu, jangan sampai si pria ini berfikir didalam hatinya, bahwa saya (Rasul SAW) sedang bersama dengan wanita lain, karena itu Rasulullah SAW membuka pardah yang menutupi wajah istri Beliau dan bersabda,”Lihatlah! Dia adalah Shafiah. (Bukhari Abwabul I’tikaf dan Musnad Ahmad Bin Hanbal Jld.III Hal. 156 dan 285). Seandainya ada perintah untuk membiarkan wajah terbuka, maka tidak akan ada keraguan yang membahayakan seperti itu.
Begitu juga diriwayatkan, berkenaan dengan Hazrat Aisyah ra, ketika Beliau ra sedang melawan seorang prajurit musuh pada peperangan “jamal”, si musuh memotong tali pengikat hodaj (tempat duduk pada unta) dan dijatuhkan, maka seorang Khariji yang kurang ajar itu membuka pardah hodaj dan mengatakan,” wah, disini ada wanita yang berwarna kemerah-merahan (merona-pent). Seandainya para istri Rasulullah SAW terbiasa dengan membiarkan terbuka wajah beliau-beliau, ketika Hazrat Aisyah duduk bertarung pada hodaj, maka pada saat itu musuh itu seharusnya sudah melihat wajah beliau ra sehingga tidak akan ada hal yang mengherankan lagi bagi si musuh itu.
Bagi mereka yang mengatakan bahwa didalam Islam tidak ada perintah untuk menutup wajah, kita akan bertanya, bahwa Quran karim telah memerintahkan untuk menyembunyikan perhiasan, sedangkan, wajahlah yang merupakan perhiasan paling berharga. Seandainya tidak ada perintah untuk menutupi wajah, lantas apa yang dimaksud dengan perhiasan, sehingga diperintahkan untuk menyembunyikannya? Tentu kita sependapat untuk menutup wajah tapi jangan sampai berakibat buruk pada kesehatannya, misalnya (dengan cara) menutupinya dengan kain tipis, atau dibuat penutup wajah seperti yang digunakan oleh kaum wanita di negeri Arab yang membiarkan lubang hidung dan mata terbebas (lubang-lubang kecil pada kain-pent), tapi tetap wajah tidak bisa dipisahkan dari pardah.

Pardah di Dalam Rumah
Selanjutnya berfirman,
“Wa laa yubdiina ziinatahunna illa libu’uulatihinna ao aabaaihinna …ila akhir,” (dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera- putera saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara laki-laki meraka, atau putera-putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan, (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita,
Dari kata ao Nisaaihinna bisa diketahui bahwa perlu juga untuk berpardah dihadapan sebagian wanita. Ada kebiasaan di setiap negeri dan zaman dahulu juga pernah terjadi di negeri kita, meskipun sekarang sudah berkurang, bahwa orang-orang jahat menyimpan wanita-wanita nakal yang akan mendatangi rumah-rumah untuk menggelincirkan para wanita dan membawanya lari (dari rumah), syariat telah memerintahkan untuk melarang wanita-wanita yang seperti itu, dan hendaknya jangan mengizinkan kepada setiap wanita untuk masuk kedalam rumah, izinkanlah masuk wanita-wanita yang tidak akan menimbulkan bahaya seperti itu, dan kenalilah dengan benar peri keadaan mereka (wanita). Bagi mereka yang menelaah sejarah, maka akan mengetahui bahwa penyebab kehancuran yang menimpa spanyol dan India adalah wanita. Ketika orang-orang Kristen Spanyol menyebarkan wanita-wanitanya dikalangan umat Muslim, dan meminta mereka (para wanita) untuk melakukan bermacam-macam perbuatan yang kotor dan menjadikan para wanita sebagai sarana untuk menyebarkan agamanya juga telah merubah pemikiran para wanita Islam, sehingga mengakibatkan hilangnya semangat pada generasi Muslim selanjutnya dalam menentang Kristen malah mereka sedemikian rupa bercampur baur dengan Kristen, sehingga orang-orang Kristen mendapatkan tempat terhormat atas hal tersebut. Di sisi lain, orang-orang Kristen dengan perantaraan wanita-wanitanya, telah menciptakan kebiasaan bersenang-senang dan bersantai ria di kalangan umat Islam, sehingga dalam diri umat Islam tidak tersisa lagi kecintaan terhadap Islam tidak juga kekuatan untuk melawan, pada akhirnya Kristen mulai menguasai secara paksa negeri berpenduduk Muslim itu. Sedemikian berkembang dan sampai pada tembok dinding Gharnatah, meskipun demikian umat Islam tidak sadar juga, mereka sedemikian rupa terbuai dalam kesenangan, seolah-olah yang berada diluar kota itu adalah pawai pengantin, padahal itu adalah pasukan tentara. Akhirnya mereka berencana untuk meninggalkan negerinya menuju ke Afrika.
Tapi sejak kapan umat Kristen membiarkan mereka untuk meninggalkan negerinya? Umat Kristen menenggelamkan kapal laut (yang ditumpangi umat Islam) didalamnya, dengan seizin Raja Kristen sendiri umat muslim telah memenuhi/melengkapi kitab-kitab literature Islami. Demikianlah nama Islam dan umat Islam dilenyapkan dari Spanyol. Begitu juga di Hindustan, perempuan-perempuan Kristen pergi ke rumah-rumah orang Islam dan menjadikan wanita-wanita Islam sebagai Kristiani. Tapi sangat disesalkan, sampai sekarang umat Islam memasukkan puteri-puterinya ke sekolah-sekolah pendeta. Dimana yang menjadi pengajarnya adalah perempuan-perempuan Kristen dan akibatnya wanita muslim menjadi bosan dengan agamanya sendiri dan mentertawakan Islam. Illa Masya Allah.
Walhasil, Allah Ta’ala berfirman,” Berkenaan dengan perempuan juga, pertama-tama selidikilah terlebih dahulu, bagaimana sikap dan tabiatnya? Ketika kalian merasa puas, lalu izinkanlah mereka masuk ke rumah. Inilah maksud dari Nisaaihinna. Dan perempuan yang datang ke rumah kalian harus perempuan yang baik-baik, seolah-olah mereka adalah kerabat kalian.
Kemudian berfirman,”

Ao Maa Malakat aimaanuhunna
Diperbolehkan bagi wanita untuk menzahirkan perhiasannya dihadapan para hamba sahaya perempuan, karena hamba sahaya perempuan dianggap sebagai anggota keluarga juga. Tapi artinya tidak seperti sebagian Mufassirin yang keliru memahaminya bahwa wanita-wanita kita boleh datang kehadapan hamba sahaya laki-lakinya, karena budak belian boleh ditangkap pada saat peperangan yang penuh darah antara musuh dengan kaum. Peperangan juga bukan disebabkan karena politik, tapi disebabkan agama. Dan ketika musuh yang seperti itu saja qoum ke barsar jang afrad tertangkap sebagai tawanan, maka bagaimana bisa timbul pertanyaan, supaya wanita harus berpardah atau tidak dihadapan mereka? Ketika syariat memerintahkan kepada kaum wanita untuk berpardah dari orang-orang yang baik dari antara kaum sendiri, lantas pemikiran untuk mebuka pardah dari orang yang berasal dari bangsa musuh bisa timbul dalam otak seseorang yang dangkal dari akal dan pemahaman. Jadi pada tempat (ayat) ini tidak disebutkan berkenaan dengan ghulam (hamba sahaya laki-laki), melainkan hanya disebutkan hamba sahaya perempuan dan itupun hamba sahaya perempuan yang bisa dipercaya sepenuhnya, tidak termasuk wanita-wanita yang nakal dan tidak berakhlak, tapi wanita yang dari sisi mana pun layak untuk dipercaya dan dalam kehormatan dan kesetiaannya benar benar tidak bernoda.


Ghoiri ulil irbati minarrijaal
Dalam mengartikan ayat ini, Sebagian (Mufassirin) mengikut sertakan juga para waria, sedangkan Rasulullah SAW (sendiri) memerintahkan untuk berpardah dari waria. Sebagaimana suatu ketika Beliau bersabda kepada para istri Beliau SAW, “Kalau waria datang, berpardahlah kalian dari mereka! Begitu juga Beliau bersabda,”Mereka (waria) pergi keluar dan bercakap-cakap juga dengan pria-pria yang lainnya, hal itu bisa menyebabkan tersebarnya keburukan (Abu Daud Kitabullibas dan Ibnu Majah kitabun nikah dan Musnad Ahmad Bin Hanbal jld 6, Hal.290). Dari itu bisa diketahui disini Ghoiri ulil irbati minarrijaal bukan berarti waria, tapi maksudnya adalah pekerja yang sudah tua yang sudah sedemikian terjauh dari nafsu Shahwat, sehingga tidak akan ada fikiran buruk lagi yang bisa menghampirinya. Karena waria itu bisa saja masih muda, dan disebabkan karena sarana sementara dalam menghilangkan kejantanan, shahwat dan kemarahannya menjadi hebat, Karena itu mereka tidak bisa diikut sertakan didalamnya. Selain itu, terbukti dari Al-Qur’an Karim bahwa merusak wajah manusiawi adalah pekerjaan syaitan, sebagaimana terdapat dalam Quran Karim, Syaitan berkata,”

Wala aamuronnahum falayughoyyirunna kholqollaahi (Annisa R.18).
Dengan perintahku orang-orang akan selalu merubah wajah-wajah yang dibuat oleh Allah Ta’ala. Karena itu didalam Islam tidak diizinkan untuk menjadikan seseorang waria dan sesuatu yang tidak jaiz, bagaimana untuk itu bisa disampaikan perintah perintah. Jadi, maksud dari kata-kata ini adalah pekerja yang tua renta, orang gila, kerabat yang setengah waras yang tidak memiliki nafsu syahwat, atau anak-anak yang belum timbul nafsu shahwatnya dan tidak mengetahui hubungan antara pria dan wanita.

Kemudian berfirman,

Walaa Yadlribna biarjulihinna liyu’lama maa yukhfiina min ziinatihinna
Perhiasan-perhiasan apakah yang tersembunyi, hendaknya wanita jangan menggoyangkan kaki, supaya bunyi gelang dikakinya tidak terdengar oleh orang-orang sehingga mereka akan mengetahui bahwa dia adalah wanita kaya, akan menguntungkan jika bergaul dengannya (wanita itu).
Dari ini pun bisa diketahui bahwa syariat melarang tari-tarian, dll. Karena dari itu akan timbul rasa tidak punya malu. Perintah ini sedemikian memiliki hikmat, kalau ada orang yang merenungkan hal ini tanpa berat sebelah, maka dia tidak akan bisa hidup tanpa mengikrarkan keindahan perintah-perintah ini. Karena dengan ini banyak sekali keburukan yang telah dihilangkan.

Beberapa Konsepsi Pardah Yang Salah
Di dalamnya tidak ada keraguan, bahwa berkenaan dengan pardah, di beberapa tempat telah diterapkan sedemikian rupa kerasnya sehingga mereka (wanita) keluar rumah diangkut dengan doli (tandu untuk wanita) sebagaimana saya sendiri melihat mereka memikul wanita didalam doli (tandu untuk mengangkat manusia) dan disekeliling doli pardahnya tertutup rapat lalu menaikkannya kedalam kendaraan. Dibeberapa kaum, lebih keras lagi dari itu dalam menerapkan pardah, mereka mengatakan,” Jenazah wanita tidak boleh dikeluarkan, sebelum dimasukkan kedalam tandu. Tapi ini sebetulnya adalah cara pardah buatan mereka sendiri yang sangat zalim dan akibatnya buruk bagi kesehatan, akhlak, ilmu, dan agamanya.
Pardah seperti itu tidak dijumpai didalam Al-Qur’an dan Hadits, bahkan didalam Quran Karim secara gamblang diketahui bahwa wanita diizinkan untuk pergi keluar (rumah). seandainya tidak ada izin bagi mereka untuk pergi keluar, maka apa perlunya ada perintah untuk menundukkan pandangan. Kemudian dari sejarah diketahui bahwa pada zaman Rasul karim SAW, para istri Beliau dan puteri-puteri beliau sendiri biasa pergi keluar rumah, ikut serta dalam peperangan, bekerja di sawah, dan lain-lain, pergi untuk memenuhi kebutuhan manusiawi, pergi untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya. Hal itu terbukti banyaknya ditemukan dan bisa dilihat buktinya dari sejarah yang sekecil-kecilnya pun. Walhasil Islam sekali-kali tidak memerintahkan supaya kaum wanita tinggal di rumah-rumah, padahal di zaman awal juga kaum wanita Islam tidak melakukan hal tersebut, bahkan mereka selalu datang untuk mendengarkan cerama-ceramah, nasihat Rasul Karim SAW, ikut serta dalam peperangan, mengobati luka–luka (prajurit perang), menaiki kendaraan, menuntut ilmu dari para pria dan mengajarkannya pada pria.
Berkenaan dengan Hazrat Aisyah ra terbukti bahwa beliau ra memperdengarkan hadits-hadits Rasulullah SAW kepada para pria, bahkan beliau sendiri ikut bertarung dengan pria, suatu ketika beliau pernah juga memanah. Maksudnya adalah sedemikian rupa mereka mendapatkan kebebasan, mereka hanya diperintahkan untuk menutup kepala, leher, atau bagian muka yang berhubungan dengan kepala dan leher, supaya celah yang bisa menimbulkan dosa-dosa bisa tertutup, dan kalau bisa lebih berhati-hati lagi, maka tutuplah dengan niqab (pardah).
Bukanlah ajaran Islam apabila hidup tertutup didalam rumah, jauh dari keilmuan dan tarbiyat, hal itu tidak juga pernah diamalkan sebelumnya. Kita jumpai didalam hadits-hadits berkenaan dengan cara-cara yang digunakan oleh Rasulullah SAW pada saat kondisi aman, beliau saw sering mengadakan pertarungan persahabatan dengan para sahabat beliau, yang didalamnya ditampilkan keahlian dalam memanah, menggunakan peralatan perang dan kekuatan. Suatu saat beliau pernah juga mengadakan permainan sejenis itu di mesjid dan bersabda kepada hazrat Aisyah, “Kalau kamu ingin melihat, berdiri dibelakangku dan naiklah ke pundakku.” Demikianlah beliau ra juga berdiri diatas pundak beliau saw dan menonton seluruh pertunjukan latihan perang kurtub (Bukhari Kitabul Eidain). Dari itu terbukti bahwa Islam menganggap perlu untuk mengajarkan (cara menggunakan) peralatan perang kepada kaum wanita, supaya ketika tiba waktunya, dia bisa melindungi dirinya dan negerinya dalam peperangan. Kalaulah hatinya bergetar ketika melihat kilauan pedang atau darahnya seketika itu menjadi kering ketika mendengar suara meriam atau senjata, maka dia tidak akan rela mengizinkan anak-anaknya pergi ke medan perang dan juga dia sendiri tidak bisa ambil bagian dalam menjaga negerinya dengan penuh keberanian.
Kehancuran pemerintahan Mughal di Hindustan hanya disebabkan oleh sifat pengecut para wanitanya dan tidak adanya be ja muhabbat para pria. Pada zaman Ghadar, ketika mata-mata (penyusup) Inggris melihat pasukan Mughl meletakkan meriam di suatu tempat yang dengannya bisa merugikan pasukan Inggris maka mereka (pasukan inggris) mengirim pesan kepada istri tercinta sang raja, Zinat Mehel, yang memiliki persekongkolan secara diam-diam dengan Inggris (khianat) dan menginginkan supaya anak saya bisa menjadi pewaris tahta, (Inggris mengatakan) kalau kamu ingin mendapatkan keuntungan, maka suruh mereka untuk memindahkan meriam itu, terus Zinat Mehel dengan beralasan sakit, berkata kepada raja bahwa hatiku gentar (kalau mendengar letupan meriam) dan akan pingsan, suruh untuk pindahkan meriam ini dari sini atau bunuh saja aku terlebih dahulu. Atas perintahnya (istri), sang raja menyingkirkan meriam itu dari sana, yang berakibat lepasnya tampuk pemerintahan dari tangan umat muslim sehingga keluarga kerajaan dan tampuk pemerintahan dilli menjadi berbalik. Sekarang kalaulah peristiwa itu benar terjadi, maka karena itulah alasan Zinat mehel (istri raja) berpengaruh pada sang raja, karena sang raja mengetahui bahwa dia (istrinya) memang tidak terbiasa mendengar suara letupan meriam. Sebaliknya, kalaulah dia (istrinya) terbiasa mendengar meriam meletup dihadapannya, dan terbiasa dengan persenjataan perang, maka dia tidak akan membuat-buat alasan seperti itu, sehingga sang raja bisa menjawab,” Kalaulah kamu sebelumnya terbiasa mendengarkan letupan meriam, maka bagaimana mungkin kamu akan pingsan. Begitu juga kalaulah sang raja mahir dalam (menggunakan) persenjataan perang, dan seumur hidupnya dia gunakan untuk hal-hal seperti itu, memahami (seluk beluk-pent) peperangan dan akibatnya, maka bagaimana mungkin dia akan mempercayai perkataan seorang wanita. Karena dia sendiri (sang raja) tidak mengenal persenjataaan perang dan tidak memperkenalkan istrinya dengan peralatan perang, sehingga Zinat mehel bisa menipu sang raja. tapi ketika Hazrat Aisyah ra melihat pemandangan perang, beliau sekali-kali tidak akan mengatakan bahwa hatinya gentar, karena Rasulullah SAW telah memperkenalkan peralatan perang dan selalu menyertakan salah satu istrinya bersamanya (dalam peperangan), sehingga didalam diri mereka timbul keberanian.

Kiprah Wanita dalam Masyarakat Muslim
Berdasarkan ajaran Islam, bersamaan dengan penerapan kaidah-kaidah pardah, seorang wanita bisa ikut serta mengerjakan segala macam pekerjaan seperti halnya kaum pria, dia bisa belajar dari pria, bisa mendengarkan kuliahnya (pria), dan Seandainya didalam majlis-majlis, seorang wanita terpaksa harus memberikan ceramah yang tidak bisa dilakukan oleh seorang pria, maka wanita pun bisa berceramah. Dalam majlis-majlis tarbiyat, atau kuliah boleh duduk dengan cara terpisah dari kaum pria, dan dalam kesempatan yang sangat penting, wanita bisa menyampaikan pendapatnya, juga bisa berdebat. Karena dalam perkara-perkara yang perlu adanya andil kaum wanita, dalam perkara seperti itu perlu untuk bermusyawarah dengan kaum wanita. Begitu juga, dalam kondisi yang sangat penting, seorang wanita bisa duduk bersama dengan pria, sebagaimana halnya Rasulullah SAW dalam keadaan safar, ada seorang pemudi yang sedang berjalan, lalu Rasulullah mendudukkan perempuan itu di atas kuda dan posisinya berada dibelakang Rasul SAW. (Musnad Ahmad Bin Hanbal jilid 6 hal 380)
Seandainya ada yang berbuat seperti itu, Sesuai dengan adat istiadat di negeri kita, mungkin saja seluruh kaum akan memboikotnya. Tapi hukum-hukum syariat sudah kita dapatkan sejak 1300 tahun yang lalu, tidak ada yang bisa merobahnya (syariat-syariat) itu, dengan melihat amalan-amalan Rasulullah SAW, saya beranggapan bahwa Seandainya pada kendaraan yang berpenumpangkan perempuan, ada hal-hal yang membahayakan, maka kewajiban kaum pria lah untuk menempatkan wanita itu pada kendaraan yang berpenumpangkan laki-laki, atau si wanita itu sendirilah yang pergi menaiki kendaraan yang berpenumpangkan pria, dimana didalam kendaraan itu ada pria-pria yang berakhlak baik, kalau si wanita itu menganggap dengan begitu kehormatannya akan lebih terjaga dibandingkan dengan duduk sendiri di dalam kendaraannya. Begitu juga kalau sekiranya tidak ada yang membahayakan, seorang wanita bisa pergi sendiri untuk berbelanja ke pasar-pasar. Di negeri Arab, saya melihat para wanita pergi sendiri berbelanja ke pasar-pasar, bahkan penduduk (pria-pent) disana mengatakan bahwa para wanita tidak menyukai barang-barang yang dibeli oleh kami (kaum pria), mereka mengatakan, tahu apa laki-laki (dalam berbelanja-pent)? bagaimana cara memilih pakaian, juga barang-barang yang lain, apa yang mereka tahu? Biar kami akan pergi sendiri untuk membelinya.
Yang dilarang adalah kalau wanita pergi kesana-kemari dengan wajah terbuka dan bergaul bebas dengan pria. Ya, kalau dia menurunkan kain tipis pada bagian atas pardah dan menutupi wajah lalu melihat jalan dan lain lain dengan mata, diperbolehkan, tapi kalau membuka penutup wajah atau pergi ke pesta-pesta umum, padahal disana-sini terdapat laki-laki, lalu tanpa rasa canggung dia mengobrol bebas tentang hal-hal yang tidak perlu dengan laki-laki, itu tidak boleh. Begitu juga wanita tidak boleh memperdengarkan syair-syair kepada pria, karena ini adalah perbuatan yang laghou.
Fitrat insani tidak dapat mentolerir bahwa kaum pria yang kuat, untuk menjaga kesehatannya, memerlukan udara bebas (luar) sedangkan wanita yang secara fitrat lemah, malah harus dihindarkan dari udara bebas(udara diluar rumah-peny). Terbukti dari hadits-hadits, suatu saat Rasulullah berlomba lari dengan Hazrat Aisyah dihadapan orang-orang, yang akhirnya dimenangkan oleh Hazrat Aisyah, tapi dalam kesempatan lain diadakan lagi lomba, yang akhirnya dimenangkan oleh Rasulullah SAW. Walhasil, pardah yang dipaksakan terhadap perempuan, yang kalau tanpa ditandu dia tidak beranjak keluar rumah adalah suatu kezaliman dan bertentangan dengan pardah Islam.
Sebaliknya dari itu, ada satu lagi pardah yang ada di negeri kita, wanita pergi keluar (rumah) dengan memakai burkah dan pergi dari satu rumah ke rumah lain, dan mereka tidak diizinkan lebih dari itu. Meskipun cara-cara pardah yang sama, seperti yang disebutkan tadi tidak bisa disangkal, tapi dengan cara-cara seperti itu kaum wanita tidak akan mendapatkan bantuan untuk perkembangan otak dan kemajuan dalam kesehatan, yang justru hal itu sangat diperlukan untuk kemajuan suatu bangsa.

Model Burkah yang Baik
Model lain burkah kita yang kuno justru akan merusak kesehatan wanita atau dengan mengatasnamakan pardah, malah justru menyebabkan tidak adanya pardah. Pada model burkah seperti itu dari bawah sampai keatas tertutup pakaian lurus bersambung, dan tangan wanita pun tertutup didalamnya, sehingga kalau dia menggendong anak, maka bagian depannya menjadi terbuka telanjang dari kepala sampai kaki dan menjadi satu pemandangan yang menimbulkan rasa jiji dan dengan sendirinya akan menimbulkan rasa benci terhadap model pardah yang seperti itu. Lebih baik lagi adalah model cadar yang ada sebelum burkah ditemukan yang dengan memakainya para wanita juga bisa melakukan pekerjaannya dan bisa menutupi diri sendiri. Menurut saya (model) burkah yang baru yang disebut dengan burkah Turki, dari sisi pardah adalah yang paling baik, dibandingkan dengan (model) pardah-pardah yang lain dengan syarat tidak menutupi tubuh dengan ketat. Tapi seperti kebiasaan para wanita dalam jemaat kita, mereka mengenakan jas yang menutupi pundak sampai kaki, jangan memakai jas ketat yang akan memperlihatkan lekuk tubuh. Seandainya jenis pakaian yang seperti itu diperbolehkan, kalau begitu pakaian untuk tubuh saja sudah cukup. Quran Majid tidak memerintahkan untuk menutupi dengan kain yang lainnya lagi.
Manfaat lain burkah dengan model seperti itu adalah tangan menjadi leluasa dan dengan burkah itu, wanita bisa mengerjakan segala jenis pekerjaan dengan nyaman, seperti halnya dokter, pada saat mengoperasi dia bisa memakai jas yang longgar, tapi seiring dengan itu, bagi perempuan yang masih sangat muda belia, adalah suatu kezaliman apabila dia disuruh memakai burkah, efeknya buruk bagi kesehatannya, dan tubuhnya tidak akan bisa berkembang dengan baik, ketika perempuan beranjak dewasa, pada saat itu dia harus diperintahkan untuk memakai pardah, sebelum itu jangan.

Wilayah Kerja Bagi Pria dan Wanita
Ada lagi pertanyaan, “Kenapa pardah diperintahkan kepada perempuan, kenapa tidak diperintahkan kepada kaum pria? Maka jawabannya adalah ,”(perintah) pardah adalah sama untuk keduanya, kalau perempuan diperintahkan untuk memakai cadar pada saat pergi keluar (rumah), tidaklah berarti bahwa perintah pardah hanya untuk wanita saja, tapi penyebab yang sesungguhnya adalah area kerja untuk kaum pria adalah diluar (rumah), sedangkan area kerja untuk perempuan adalah didalam dinding rumah, walhasil ketika wanita memasuki area kerja laki-laki, maka dia memakai cadar, sedangkan karena itu adalah area kerja bagi kaum pria, maka dia (laki-laki) akan bebas pergi kesana-kemari (diluar). Kalau didalam area kerjanya sendiri, dia (laki laki) diperintahkan untuk mengenakan cadar, karena setiap saat dia mengerjakan pekerjaannya disana (diluar), maka baginya akan sulit untuk bekerja. Begitu juga sebaliknya, kalau perempuan yang memang tinggal didalam dinding tembok rumah sendiri, lantas diperintahkan untuk mengenakan cadar, maka dia akan ghabrana dan tidak akan bisa mengerjakan pekerjaannya.
Untuk menyeimbangkan perbedaan ini, diperintahkan kepada para pria supaya jangan sekali-kali memasuki area kerja kaum wanita (rumah), biarkanlah dia mengerjakan pekerjannya dengan leluasa, dan kalau (laki laki) akan memasuki rumah orang lain, dia harus meminta izin terlebih dahulu, tapi bagi wanita tidak perlu meminta izin kepada laki-laki (umum, bukan suami) untuk pergi keluar rumah, karena wanita memiliki hak untuk berada didalam area kerja laki laki (luar rumah), wanita bisa bebas berhubungan dengan jalan-jalan umum dan pasar. Tapi bagi pria umum (bukan muhrim) tidak ada hak untuk berada pada area kerja kaum wanita (rumah), walhasil bagi wanita tidak perlu meminta izin, cukup dengan memakai pardah dan menutupi tubuh dan kaum pria dilarang untuk memasuki area kerja wanita tanpa izin, walhasil didalam pardah tidak ada istilah hormat dan tidak hormat, tapi ini adalah pembagian yang terpisah antara area kerja laki-laki dan perempuan dan penentangan yang terjadi itu hanyalah disebabkan oleh adat istiadat dan kebiasaan saja (suatu kaum).

Pardah dan Kemajuan Kaum Wanita
Dikatakan juga bahwa disebabkan karena pardah wanita tidak bisa meraih kemajuan dan kesehatannya menjadi rusak, ini adalah benar-benar keliru, wanita yang sama sekali tidak berpardah lalu pergi kesana-kemari, pekerjaan apa yang bisa dia lakukan, lantas tidak bisa dilakukan oleh wanita yang berpardah? Pada saat wanita berpardah sesuai dengan hukum Islam, saat itu kesehatannya juga baik. Mereka juga ikut serta didalam peperangan, membunuh musuh-musuh juga, tapi pada zaman ini, wanita yang pergi kesana-kemari tanpa pardah, dia tidak sedang melakukan apa-apa. Sebenarnya kesehatan itu timbul dari harapan dan keinginan, ketika didalam diri seseorang tidak ada keinginan, meskipun dia di perintahkan untuk berdiri pada puncak gunung, dia akan terjatuh juga, sebaliknya kalau ada harapan dan keinginan, meskipun dia dikurung selimut, tetap dia akan terus melambung tinggi (bulend) sehingga saya selalu berusaha supaya pardah para wanita ahmadi sesuai dengan syariat, dan pada masa kekhalifahan saya, di Qadian maupun di Rabwah jumlah wanita yang berpendidikan selalu lebih banyak dibanding dengan yang tidak, Tapi pria yang berpendidikan dengan yang tidak, (jumlahnya) tidak pernah sama, begitu juga mereka selalu melaksanakan tugas-tugas lajnah dengan penuh dedikasi, pergi ke rumah-rumah dan menarik candah, menggugah semangat orang-orang, bahkan terkadang mereka pun pergi ke luar kota. Walhasil, keliru kalau beranggapan bahwa pardah menjadi penghalang dalam kemajuan wanita, meskipun berada dibalik pardah, para wanita bisa terus mendulang berbagai macam kemajuan, penting supaya bagaimana perempuan bisa berpendidikan dan dia sendiri mengamalkan pardah sesuai dengan syariat. Sampaikan juga pada wanita-wanita lain, dalam kondisi mengenakan pardah, kita bisa peroleh segala macam kemajuan, kalau pria yang menyampaikan hal ini, tidak akan banyak memberikan pengaruh, tapi kalau wanita sendiri yang mengatakan bahwa kalian pergi kesana-kemari diluar sana, apa yang kalian tahu tentang kesulitan kesulitan yang ditimbulkan oleh pardah?



Lampiran
Daftar Pakaian Wanita Muslim di Berbagai Negara
The Qur'an states that women should dress modestly in the presence of unfamiliar men.
Gulf-style
(Gaya Teluk) Abaya
Jenis pakaian luar dari wilayah Teluk atau Khaleej Timur Tengah yang mencakup dari kepala ke kaki. Hal ini juga semakin umum di antara wanita konservatif Pakistan. Abaya tradisional adalah hitam, dan mungkin berupa baik kain persegi lebar yang disampirkan dari bahu atau kepala, atau berupa jubah hitam panjang (Kaftan).
Al-amira Kerudung yang terdiri dari dua potong. Pertama sebuah penutup kepala yang pendek, biasanya terbuat dari katun atau polyester, dan disertai oleh kerudung seperti selubung.
Bushiyya
Sebuah kerudung yang diikat pada dahi dan jatuh untuk menutupi seluruh wajahnya tetapi tidak memiliki cut-out untuk mata, melainkan kain yang cukup tipis untuk bisa melihat melaluinya.
Bukhnuk بخنق Ini mirip dengan khimār 2 (lihat di bawah), tetapi hanya turun ke pangkuan. Kadang-kadang disebut "Amira jilbab" jika memiliki bordir di tepi.
Afghani Burqa البرقع الأفغاني Juga dikenal sebagai Burqa Afghanistan. Meliputi seluruh tubuh dan memiliki kisi-kisi di atas wajah yang wanita terlihat melalui. Mungkin memiliki celah untuk tangan.

East of Arabia Burqa برقع شرق الجزيرة العربية Dipakai oleh wanita yang menikah di Uni Emirat Arab, Oman, Qatar dan Arab Iran Selatan.

Chador
Pakaian luar tradisional Iran yang menutupi kepala dan tubuh dan adalah panjang penuh setengah lingkaran kain tapi turun ke tanah. Tidak memiliki celah untuk tangan dan ditahan erat dengan tangan, gigi atau hanya dibungkus di bawah lengan.

Dupatta
Kain biasa orang Pakistan, Punjabi dan barat laut India, kain berwarna besar terbuat dari bahan ringan yang menutupi kepala dan bahu. Biasanya dijual dalam 3-potong set dengan warna atau pola yang cocok dengan celana panjang dan kemeja dari salwar kameez.

Hijāb (1) حجاب generic Seluruh pakaian sopan/sederhana/layak bagi wanita Muslim.
Hijāb (2)
generic Jilbab; ini biasanya disebut sebagai khimār, jamak khumur.
Hijāb (3)
Jenis penutup kepala yang merupakan kain persegi yang dilipat menjadi segitiga lalu ditempatkan di atas kepala dan diikatkan di bawah dagu; ini mungkin adalah gaya yang paling umum saat ini, terutama di negara-negara Barat. Lihat penjelasan dalam artikel tentang jilbab.
Jilbāb (1) جلباب generic Istilah yang digunakan dalam Al Qur'an (Suratu l-Ahzab, Aya 59) untuk merujuk pada pakaian luar.
Jilbāb (2)
Jenis pakaian luar yang mirip jas hujan panjang atau mantelnya.
Khimār (1) خمار generic Istilah yang digunakan dalam Al Qur'an (Suratu n-Nūr, Aya 31) untuk merujuk ke jilbab, kata "hijab" lebih umum digunakan dengan makna ini.
Khimār (2)
Paling umum, sebuah penutup kepala melingkar dengan lubang keluar untuk wajah, yang biasanya turun hingga ke pinggang. Perhatikan variasi buknuk dan kerudung di atas, yang merupakan gaya yang sama tapi panjang yang berbeda.
Niqaab نقاب
Sebuah tabir yang menutupi wajah dan seluruh kepala tetapi dengan tempat untuk mata.

Niqaab (2)
Sebuah kerudung yang diikat di pangkal hidung dan jatuh untuk menutupi wajah bagian bawah. Juga disebut "setengah niqab".
Paranji /Paranja Sebuah pakaian luar tradisional Asia Tengah yang menutupi kepala dan tubuh, berat dan terbuat dari bulu kuda. Terutama lazim di masyarakat Uzbekistan.

Tudung Jilbab yang dipakai di Malaysia dan Indonesia
Türban
Tutup kepala yang dipakai dalam gaya modern di Turki, namun juga dipandang sebagai simbol politik.

(Penerjemah:Mahmud Ahmad Wardi)

ShareThis

 

Kembali lagi ke atas